Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
1. Pengertian Hadits
Menurut bahasa kata hadits memiliki
arti;
1)
al jadid minal asyya (sesuatu yang baru), lawan dari qodim. Hal
ini mencakup sesuatu (perkataan), baik banyak ataupun sedikit.
2)
Qorib (yang dekat)
3)
Khabar (warta), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang
kepada orang lain dan ada kemungkinan benar atau salahnya.
Dari makna inilah diambil perkataan hadits Rasulullah saw.
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda
pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri
ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak berbeda. Ada yang
mendefinisikan hadits, adalah : “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan,
dan hal ihwalnya”. Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk “hal
ihwal”, ialah segala pemberitaan tentang Nabi SAW, seperti yang berkaitan
dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya“.
Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai
berikut : “Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi SAW. baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, maupun sifatnya”.
Dari ketiga pengertian tersebut, ada kesamaan dan perbedaan
para ahli hadits
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
dalam mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah
hadits dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.
Sedangkan
ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :
“Segala perkataan Nabi SAW. yang dapat dijadikan dalil untuk
penetapan hukum syara’”.
Berdasarkan rumusan definisi hadits baik dari ahli hadits
maupun ahli ushul, terdapat persamaan yaitu ; “memberikan definisi yang
terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW, tanpa
menyinggung-nyinggung prilaku dan ucapan shabat atau tabi’in. Perbedaan mereka
terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup segala
sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya
menyangkut aspek perkataan Nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum syara’.
Jamaknya
adalah hudtsan, hidtsan dan ahadits. Jamak ahadits-jamak
yang tidak menuruti qiyas dan jamak yang syad-inilah yang dipakai jamak hadits
yang bermakna khabar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hadist-hadits Rasul
dikatakan ahadits al Rosul bukan hudtsan al Rosul atau yang
lainnya.
Dalam
hal ini, Allah juga menggunakan kata hadits dengan arti khabar, dalam
firman-Nya;
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا
صادقين.
“maka
hendaklah mereka mendatangkan khabar yang sepertinya jika mereka orang
yang benar” (QS.
At Thur; 24).
Hadits
menurut istilah ahli hadits hampir sama (murodif) dengan sunah, yang
mana keduanya memiliki arti segala sesuatu yang berasal dari Rasul, baik
setelah dingkat ataupun sebelumnya. Akan tetapi kalau kita memandang lafadz
hadits secara umum adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw. setelah diangkat menjadi nabi, yang berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir
beliau. Oleh sebab itu, sunah lebih umum daripada hadits.
Menurut
ahli ushul hadits adalah segala pekataan Rosul, perbuatan dan taqrir beliau,
yang bisa bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i. Oleh
karena itu, menurut ahli ushul sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan
hukum tidak tergolong hadits, seperti urusan pakaian.
Sesuai
difinisinya ada tiga macam hadits :
1.
Hadits yang berupa perkataan (Qauliyah), contohnya, sabda Nabi SAW ;
“Orang
mukmin dengan orang mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama
lain saling menguatkan.” (HR. Muslim)
2.
Hadits yang berupa perbuatan (fi’liyah) mencakup perilaku beliau,
seperti tata cara shalat, puasa, haji, dsb. Berikut contoh haditsnya, Seorang
sahabat berkata : “Nabi SAW menyamakan (meluruskan) saf-saf kami ketika kami
melakukan shalat. Apabila saf-saf kami telah lurus, barulah Nabi SAW bertakbir.”
(HR. Muslim)
3.
Hadits penetapan (taqririyah) yaitu berupa penetapan atau penilaian Nabi
SAW terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan para sahabat yang perkataan atau
perbuatan mereka tersebut diakui dan dibenarkan oleh Nabi SAW. contohnya hadits
berikut, seorang sahabat berkata ; “Kami (Para sahabat) melakukan
shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari (sebelum shalat maghrib),
Rasulullah SAW terdiam ketika melihat apa yang kami lakukan, beliau
tidak menyuruh juga tidak melarang kami ” (HR. Muslim)
2.
Pengertian sunah
Sunah
menurut bahasa adalah perjalanan (jalan yang ditempuh), baik terpuji atau
tidak. Jamaknya adalah sunan.
Sunah
menurut istilah Muhadditsin adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, kelakuan, maupun perjalanan hidup,
baik setelah diangkat ataupun sebelumnya.
Sunah
menurut istilah ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berasal dari
Nabi-selain al Qur’an- baik berupa perkataan, perbuatan ataupun taqrir yang
bisa dijadikan dalil bagi hukum syar’i.
Suah
menurut istilah Fuqoha adalah sesuatu yang diterima dari Nabi Muhammad saw,
yang bukan fardlu ataupun wajib.
Sunnah menurut bahasa berarti : “Jalan dan kebiasaan yang
baik atau yang jelak”. Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah
ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau
tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut
bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
“Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik,
maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari
kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya
dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari
kiamat” (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits)
ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang
demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya.
Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama
ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status
normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu
yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak
hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang
normatif dari masyarakat tersebut.
Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke
dalam masalah-masalah hukum syara’, maka yang dimaksud dengan kata sunnah di
sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh
Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian,
apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya
adalah al-Qur’an dan Hadits.
Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan
ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan
ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu,
yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian
sunnah sebagai berikut :
“Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya,
baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira
maupun sesudahnya”.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah
menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. “Ulama yang mendefinisikan
sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun
hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai
sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh
segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah
(yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau
tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut,
apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul
SAW., atau sesudahnya.
Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah “segala
yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan
maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum”. Menurut T.M. Hasbi Ash
Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda
Nabi, sebagai berikut :
“Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak
sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya”
(H.R.Malik).
(H.R.Malik).
Perbedaan pengertian tersebut di atas, disebabkan karena
ulama hadits memandang Nabi SAW., sebagai manusia yang sempurna, yang dijadikan
suri teladan bagi umat Islam, sebagaimana firman Allah surat al-Ahzab ayat 21,
sebagai berikut :
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu”.
Ulama Hadits membicarakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi Muhammad SAW., baik yang ada hubungannya dengan ketetapan hukum
syariat Islam maupun tidak. Sedangkan Ulama Ushul Fiqh, memandang Nabi Muhammad
SAW., sebagai Musyarri’, artinya pembuat undang-undang wetgever di samping
Allah. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 yang berbunyi:
“Apa yang diberikan oleh Rasul, maka ambillah atau
kerjakanlah. Dan apa
yang dilarang oleh Rasul jauhilah”.
yang dilarang oleh Rasul jauhilah”.
Ulama Fiqh, memandang sunnah ialah “perbuatan yang dilakukan
dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan
kata lain sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila dikerjakan, dan
tidak dituntut
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
apabila ditinggalkan. Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambiyah menerangkan bahwa Sunnah ialah suatu jalan yang dilakukan atau dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya; sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut selain mereka sendiri.
3.
Pengertian khabar
Khabar
menurut bahasa adalah berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain.
Khabar
menurut Muhadditsin adalah warta dari Nabi, Shahabat, dan Tabi’in. oleh
karena itu, hadits marfu’, maukuf, dan maktu’ bisa dikatakan sebagai
khabar. Dan menurutnya khabar murodif dengan hadits.
Sebagian
ulama berpendapat bahwasannya hadits dari Rosul, sedangkan khabar dari selain
Rosul. Dari pendapat ini, orang yang meriwayatkan hadits disebut Muhadditsin
dan orang yang meriwayatkan sejarah dan yang lain disebut Akhbari.
Adapun
secara terminologi terdapat perbedaan pendapat terkait definisi khabar, yaitu:
1.
Kata khabar sinonim dengan hadits;
2.
Khabar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan seseorang selain Nabi
Muhammad. Sedangkan hadits adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Nabi
Muhammad.
3.
Khabar mempunyai arti yang lebih luas dari hadits. Oleh karena itu, setiap
hadits dapat disebut juga dengan khabar. Namun, setiap khabar belum tentu dapat
disebut dengan hadits.
Selain istilah Hadits dan Sunnah, terdapat istilah Khabar
dan Atsar. Khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada
seseorang. Untuk itu dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan
bahasa), kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,
yang dikutip as-Suyuthi, memandang bahwa istilah hadits sama artinya dengan
khabar, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu yang marfu, mauquf, dan maqthu’.
Ulama lain, mengatakan bahwa kbabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi
SAW., sedang yang datang dari Nabi SAW. disebut Hadits. Ada juga ulama yang
mengatakan bahwa hadits lebih umum dari khabar. Untuk keduanya berlaku kaidah
‘umumun wa khushushun muthlaq, yaitu bahwa tiap-tiap hadits dapat dikatan
Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits.
Menurut istilah sumber ahli hadits; baik warta dari Nabi
maupun warta dari sahabat, ataupun warta dari tabi’in. Ada ulama yang
berpendapat bahwa khabar digunakan buat segala warta yang diterima dari yang
selain Nabi SAW. Dengan pendapat ini, sebutan bagi orang yang meriwayatkan
hadits dinamai muhaddits, dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbary
atau khabary. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa hadits lebih umum dari
khabar, begitu juga sebaliknya ada yang mengatakan bahwa khabar lebih umum dari
pada hadits, karena masuk ke dalam perkataan khabar, segala yang diriwayatkan,
baik dari Nabi maupun dari selainnya, sedangkan hadits khusus terhadap yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. saja.
4.
Pengertian Atsar
Secara
etimologi atsar berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai
definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar
adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Atsar menurut lughat ialah bekasan sesuatu, atau sisa
sesuatu, dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang
dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur. Sedangkan menurut istilah jumhur
ulama sama artinya dengan khabar dan hadits. Dari pengertian menurut istilah,
terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. “Jumhur ahli hadits mengatakan
bahwa Atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW., sahabat, dan tabi’in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk
yang mauquf dan khabar untuk yang marfu.
5. Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan
al-Atsar
Dari keempat istilah yaitu Hadits, Sunnah, Khabar, dan
Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama,
yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu pula
halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits
Mutawatir dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir.
Begitu juga Hadits Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih,
dan Atsar Shahih.
Tetapi berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah,
Khabar, dan Atsar ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits
dan sunnah menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits maupun ulama
ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari penjelasan
ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut :
(a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan,
perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang
bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi
pekerti, atau perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun
sesudahnya.
(b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat
bahwa Khabar sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi
SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW.
Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena
perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW., maupun
dari yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi
SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan
kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai
Atsar”.
(c)
Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan
khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan
Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in.
“Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf. Namun membolehkan
memakainya untuk perkataan Rasul SAW. (hadits marfu)”. Dengan demikian, Hadits
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi SAW. saja, sedangkan
Atsar sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat dan tabi’in.
(dirangkum dari beberapa sumber
smoga bermanfaat, jika terdapat kesalahan, mohon kritikannya)
uensinya. Dan ini tidak dapat
dilakukan kecuali dengan apa yang terjadi setelah kenabian. (Ushulul-Hadits,
Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, halaman 27).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,”Buku-buku yang di dalamnya
berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain Tafsir, Sirah, Maghazi (peperangan Nabi), dan Hadits. Buku-buku
hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun
berita-berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidk disebutkan
untuk dijadikan landasan amal dan syari’at. Bahkan ijma’ kaum muslimin
menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan
adalah apa yang dibawa Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam setelah kenabian”. (Fatawaa Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah, 18/10-11).
Contoh perkataan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adalah sabda
beliau :
”Perbuatan itu dengan niat, dan setiap
orangtergantung pada niatnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Sabda beliau juga :
”(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Contoh penetapan (taqrir) Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam adaah
sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau
persetujuan beliau terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia
berkata : “Ada dua orang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan
air, sehingga keduanya bertayamum dengan debu bersih lalu mendirikan shalat.
Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudlu dan shalat,
sedangkan yang lain tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap Rasulullah dan
menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau
bersabda :
”Engkau sudahbenar sesuai sunnah, dan sudah
cukup dengannya shalatmu”
Dan kepada yang mengulangi wudlu dan shalatnya, beliau Shallallahu
Alaihi Wassalam bersabda :
”Bagimu pahala dua kali lipat” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).
Dari Mu’adz bin Jabal bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman : “Apa yang kamu jadikan
sebagai pedoman dalam menghukumi sesuatu masalah?”.
Ia menjawab : “Dengan Kitabullah”.
Rasulullah bertanya : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam
Kitabullah?”.
Dia menjawab : “Dengan Sunnah Rasullullah “[/I].
Beliau bertanya lagi : ”Jika kamu tidak mendapatkannya dalam Sunnag
Rasulullah dan Kitabullah ?”
Dia menjawab : “Aku akan berijtihad dengan pikiranku”. Kemudian
Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda : ”Maha Suci Allah yang
telah memebri petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridlai
Rasulullah” (HR. Abu Dawud, dan
didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Manzilatus-Sunnah).
Diriwayatkan bahwasannya Khalid bin
Walid pernah memakan dlabb (hewan sebangsa biawak di padang pasir) yang
dihidangkan kepada Nabi, sedangkanbeliau tidak memakannya. Sebagian shahabat
bertanya,”Apakah diharamkan memakannya wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,”Tidak,
hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku tidak
merasa berminat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, adalah banyak sekali . Dan
At-Tirmidzi telah menyusun sebuah buku tentang tabi’at (syamail) beliau. (At-Tasyri’ wal-Fiqhi
fil-Islam tarikhan wa Manhajan, Manna’ Al-Qahthan, halaman 87-88).
Di antara contohnya adalah :
Dari Abi Ishaq, dia berkata,”Seorang laki-laki bertanya kepada
Barra’ : ‘Apakah wajah Rasulullah seperti pedang?”. Dia menjawab : “Tidak, tapi seperti
rembulan” (HR. Tirmidzi, dan dia
berkata,”hasan shahih”).
Dari Barra’ dalam riwayat lain,”Rasulullah tidak pendek
dan tidak tinggi” ( HR. Tirmidzi, dan dia
berkata,”hasan shahih”.).
Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata,”Belum pernah aku
melihat Rasulullah sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku”.
Definis
Khabar
Khabar menurut bahasa adalah berita. Bentuk jamaknya adalah Akhbaar.
Sedangkan menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa khabar itu sama dengan hadits,
sehingga maknanya menjadi sama secara istilah.
2. Ada pula yang berpendapat bahwa hadits adalah segala yang
datang dari Nabi; sedangkan khabar adalah yang datang dari selain Nabi, seperti
shahabat dan tabi’in.
3. Ada juga yang berpendapat bahwa khabar lebih umum
daripada hadits. Kalau hadits adalah segala apa yang datang dari Nabi, sedang
khabar adalah yang datang dari Nabi dan selain Nabi.
Definsi
Atsar
Atsar menurut bahasa adalah sisa dari sesuatu. Sedangkan menurut
istilah ada dua pendapat :
1. Ada yang mengatakan bahwa atsar itu sama dengan hadits,
makna keduanya adalah sama.
2. Ada yang berpendapat bahwa atsar berbeda dengan hadits,
yaitu apa yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan
dan perbuatan mereka.
PEMBAHASAN
TENTANG PERBEDAAN DEFINISI HADITS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
PEMBAHASAN TENTANG PERBEDAAN DEFINISI
HADITS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR
Di
Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadits
Oleh
:
Muhammad Anis Yahya (10110263)
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIMMALANG
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu
alaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang yang tidak henti-hentinya memberikan berjuta
ni’mat kepada hambaNya, ni’mat panca indra, ni’mat akal sehingga pada kesempatan ini daya
diberikan kesempatan untuk dapat menulis sebuah makalah tentang Studi Hadits dengan spesifikasimasalah
perbedaan definisi hadits, sunnah khabar dan atsar dengan lancar. Tidak lupa juga sholawat serta salam tetap
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, yang mana beliaulah
yan membimbing kita dari zaman kebodohan ke zaman yang terang dengan berbagai
ilmu didalamnya.
Sebagai
manusia yang tiada sempurna pasti mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan,
karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT penguasa alam semesta. Begitu
juga dengan makalah yang daya buat ini, tentunya banyak kekurangan didalamnya,
oleh karena itu kepada pembaca yang budiman dan para ahli dalam ilmu ini ( Studi Hadits ) saya mohon maaf sebesar-besarnya dan mohon kritik yang
konstruktif dan saran yang membangun sebagai motifasi untuk kekamilan makalah ini, dan semoga makalah
ini dapat bermanfaatt bagi para pembaca pada umumnya dan daya pada khususnya
untuk dapat berkarya lebih sempurna lagi.
Amiin Yaa
Mujiibas Saa’iliin
Malanng, 14 apri 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Setiap masalah
mempunyai definisi, dan dalam mendefinisikan sebuah istilah. Kita sering kita
dihadapkan berbagai pengertian dan perbedaan yang terdapat dalam berbagai buku
rujukan atau yang disampaikan oleh ulama’ dan tidak jarang perbedaan itu memicu
kebingungan. Kususnya untuk menyimpulkan makna yang sebenarnya. Namun apabila
kita mengetahui akar masalahnya, maka kebingungan itu pasti akan hilang dsn
dapat dihindari.
Adanya
perbedaan dalam definisi istilah tersebut,tiap
ulama’ dan konsentrasi para pendefinisi istilah tersebut. Tiap ulama’
yang berkelimpung dalam ilmu tertentu memiliki definisi sesuai dengan ilmu yang
digelutinya, yang nanti pada gilirannya akan memunculkan suatu definisi yang
baru dan berbeda dengan yang disampaikan oleh ulama lain yang berbeda konsentrasi
keilmuannya. Semua definisi itu dapat diangga benar, selama kita dapat
menempatkan definisi tersebut sesuai dengan konsentrasi dan disiplin ilmu yang
sesuai.
Disisilain
didapat tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga
batang tubuh pengetahuan yang disusunny. Ketiga komponen itu ialah: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi
merupakan asas dalam penetapan batas ruang lingkup objek penelitian dan
penafsiran hakikat realitas (metafisik). Dari objek ontologi tersebut.
Epistemologi merupakan asas cara bagai mana materi pengetahuan diperoleh dan
disusun menjadi satu tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam
menggunakan pengetahuan.
Tulisan ini
akan membahas aspek ontologinya, yaitu untuk memberikan jawaban terhadap
pertanyaan apakah hadits itu dengan ruang lingkup pembahasan serta
penafsirannya karena ada istila-istilah lain yang mempunyai makna yang tidak
jauh berbeda yaitu: khabar, atsar dan sunnah.
Tulisan ini akan berupaya untuk
menjawab permasalahan-permasalahan diatas. Agar kita tidak salah dalam
mengartikan pendapat para ulama’ mengapa bisa mempunyai pendapat yang
berbeda-beda. Melalui ruang lingkup: buku ulumul hadis yang dikarang oleh Drs. H.
Muhammad Ahmad – Drs. M. Mudzakir, ilmu hadis yang dikarang olehDr. Utang
Ranuwijaya, M.A., Al-qur’an dan hadis yang dikarang oleh Dr. Abudin Nata, ilmu
hadis yang dikarang oleh Drs. Munzier Suparta M.A., Studi Ilmu hadis yang
dikarang oleh Mohammad Nor Ichwan, Ulumul hadis yang dikarang oleh H. Zeid B.
Smeer, Lc., M.A., Hadis Tarbiyah (Hadits Etika) yang dikarang oleh H. Achmad
Usman.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Tulisan ini
akan membahas. Apakah itu hadits, khabar, atsar dan sunnah serta menapa bisa
terjadi penafsiran yang berbeda-beda oleh para ulama’ dan para ahli?
1.3 Tujuan
Masalah
1.
Mengerti
pengertian tentang hadits, khabar, atsar dan sunnah.
2.
Mengetahui
penyebab perbedaan penafsiran istilah oleh para ulama’ dan para ahli.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Hadits, Sunnah, Khabar dan
Atsar
A.
Definisi Hadits
Hadis menurut bahasa mempunyai arti :
a. Jadid, yang artinya baru dan lawannya qodim
b. Qorib : yang dekat, yang belum lama lagi terjadi, seperti
dalam perkataan “haditsul ahdi bil
islam” atinya “orang yang baru memeluk islam”. Jama’nya : hidats, hadatsa, dan
huduts.
c. Khabar : warta, yakni “ma yutahaddatsu bihi wayuqalu”
artinya “sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
seseorang”. Dari makna inilah diambil perkataan “hadits rasul” Jama’nya : uhdutsah’ dan ahadits.
Hadits yang bermakna khabar ini di istiqaqkan dari hadits
yang yang bermakna riwayat atau ikhbar
(mengkhabarkan). Apabila dikatakan “haddatsana bi haditsin”, maka maknanya
“akhbarana bihi haditsan” artinya “dia menggambarkan sesuatu khabar kepada
kami.
Ringkasnya, lafadz hadits bukan sifat musyabbahah, walaupun
dia sewazan karim. Jama’nya hutsan atau hidats, dan dijama’kan juga atas
ahadits. Jama’ inilah yang dipakai buat jama’ hadits yang bermakna khabar dari
rasul.
Hadits-hadits dari rasulullah dikatakan “ahaditsul rasul”,
tidak pernah dikaatakan “hudtsanul-rasul”, sebagai mana tidak pernah disebut
“uhdutsanul-rasul”.[1][1]
Dari sudut pendekatan kebahasaan ini, kata Hadits
dipergunakan pada Al-quran maupun hadits itu sendiri. Dalam Al-quan misalnya
dapat dilihat pada surat ath-thur ayat 34, surat al-kahfi ayat 6,
dan adh-dhuha ayat 11. Kemudian pada haidits dapat dilihat pada beberapa
sabda Rasulullah SAW, diantara Zaid bin Tsabit riwayat Abu daut, At-Turmudzi
dan Ahmad, yang menjelaskan do’a Rosullah SAW terhadap orang yang menghafal dan
menyampaikan suatu hadits dari padanya.
Sementara itu menurut Azami bahwa term
hadits dalam Al-qur’an terulang sebanyak 23 kali dan tersebar dalam berbagai
surat. Secara etimologi term itu memiliki arti yang beraneka ragam sesuai
dengan konteks ayat (siyaq al-kalam), diantaranya adalah:
1.
Komunikasi
religius: risalah atau Al-qur’an(Q.S. al-Zumar/39:23, Q.S. al-Qolam/68:44).
2.
Kisah tentang
watak sekular atau umum (Q.S. al-An’am/6:68)
3.
Kisah histori
(Q.S. at-Thaha/20:9)
4.
Kisah kontem
porer atau percakapan (Q.S. al-Tahrim/66:3)
Hadits menurut istilah ialah :
Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan
pengertian hadits. Diantara ulama’ ahli hadits sendiri diantara satu dan yang
lainnya agak berbeda. Ada yang mendefinisikan bahwa hadits segala
perkataan, perbuatan, dan
hal ilwahnya Nabi SAW. Adapula yang mendefinisikan sebagai segala sesuatu yang
bersumber
dari Nabi SAW,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya. Demikian juga ada
yang merumuskannya dengan:
ﺍﻗﻮﺍﻟﻪﺼﻠﻰﺍﻠﻟﻪﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﻮﺤﻮﺍﻟﻪ
“segala ucapan Nabi SAW, segala
perbuatan dan segala keadaannya”
Masuk ke dalam “keadaannya” segala yang
diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti hal kelahirannya, tempatnya dan yang sangkut paut dengan itu, ketika sebelum
diutus maupun sesudahnya.[2][2]
Sebagian ulama’ seperti Ath-thiby berpendapat bahwa :
“hadits itu melengkapi sabda nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau :
melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir para shahabat, sebagai mana pula
melengkapi perkataan, perbuatan dan taqrir para tabi’in’.
Sementara itu, menurut Ibn al-Subkiy
(wafat 771 H = 1370 M) pengertian hadits, yang dalam hal ini disebut juga
dengan istilah sunnah, adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.
Dalam rumusam definisinya tersebut ibn al-Subkiy tidak memasukkan term taqrir
sebagai sebagian rumusan hadits. Menurutnya term taqrir telah tercangkup dalam
af’al (segala perbuatan), apabila kata taqrir dinyatakan secara eksplisit, maka
rumusan definisi menjadi ghoir mani (titak terhindar dari sesuatu yang tidak
didefinisakan) meskapun, secara eksplisit ibn al-Subkiy tidak memasukkan taqrir
dalam rincian definisinya, namun tetap mengakui keberadaan taqrir nabi sebagai
sebagian dari hadits.
Berbeda dengan ulama hadis, ulama ushul
dalam mendefinisikan hadis tanpa mencntumkan penampilan fisik Nabi SAW, seperti
akhlak dan sejarah hidupnya. Sehingga ulama ushul membatasi definisi hadis
dengan “segala perkataan, perbuatan dan ketetapan (taqrir) Nabi SAW, yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya. “. Dengan rumusan demikian, maka segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi saw, dan yang tidak terkait dengan hukum atau misi kerosulannya,
tidak dapat disebut sebagai hadis..
Secara sepintas, beberapa definisi di
atas, terkesan bahwa hadis hanya terbatas kepada hal-hal yang berkaitan dengan
perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifat Nabi saw semata. Padahal ada sebagian muhaddisin
yang memberikan definisi yang lebih luas cakupannya dibandingkan hanya sekedar
beberapa atribut yang telah disebutkan itu. Sehingga mereka merumuskan definisi
hadis sebagai “ segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat
kemakhlukan, akhlak, maupun sejarah hidup sebelum atau sesudah diangkaat
menjadi Rosul.
Beberapa definisi di atas, jelas sekali
bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan (
dinisbahkan) kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak.
Namun kalau kita membuka beberapa literatur hadis, khususnya kitab-kitab hadis
yang tergolong dalam kutub al-sittah,
maka akan kita temukan beberapa riwayat yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan ucapan, perbuatan atau taqrir Nabi
saw, seperti :
“Abdurrahman bin Abdil Qariy berkata :
“ pada suatu malam dibulan Romadlan, saya bersama sahabat Umar bin Khoththob
keluar ke masjid, kemudian orang-orangg terbagi menjadi beberapa kelompok
(untuk sholat tarawih). Ada seseorang yang sholat dengan sendirian dan diantara
mereka ada yang tarawih dengan berjama’ah. Kemudian sahabat Umar bin Khoththob
berkata : “ sesungguhnya saya punya pendapat jika sekiranya mereka saya
kumpulkan pada salah satu orang yang ahli membbaca Al-Qur’an (untuk melakukan
sholat tarawih berjamaa’ah), pastilah yang demikian itu lebih baik, kemudian
beliau bermaksud mengumpulkan mereka pada sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada
malam berikutnya saya keluar lagi dengan beliau(Umar) dan orang-orang pada
waktu itu melaksanakan sholat dengan berma’mumkepada salah satu dari mereka
yang alim dalam bacaannya. Lalu Umar berkata: “ini adalah sebaik-baik bid’ah”.
Dan sholat tarawih yang dilaksanakn pada akhir malam itu lebih baik daripada
sholat yang mereka lakukan itu pada waktu itu orang-orang melaksanakan ibadah
sholat tarawih pada awal waktu”. HR Bukhori.
Riwayat seperti di atas biasa disebut
dengan hadis, meskipun dalam riwayat tersebut tidak ada hubungan sama sekali
dengan qoul, af’al, dan taqrir Nabi saw. Tetapi lebih berkaitan dengan perilaku
para sahabatnya, contoh seperti ini banyak dijumpai dalam literatur hadis awal.
Melihat kenyataan yang demikian, maka
definisi hadis, menurut sebagian ulama’ perrlu diperluas lagi, yaitu tidak
hanya terbatas pada apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw, tetapi juga pada
sahabat. Sehingga definisi hadis menjadi segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, ataupun fisik tau akhlak, dan
apa saja yang dinisbatkan kepada sahabat. Tidak hanya itusaja, bahkan didalam
literatur hadis juga ditemukan beberapa riwayat yang secara langsung tidak
berhubungan dengan Nabi saw ataupun sahabat, yaitu hadis yang disandarkan
kapada para ulama’ sesudah sahabat (tabi’in). Sehingga Al-Tirmidzi memberi
batasan bahwa hadis tidak hanya terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi
saw semata. Tetapi juga segala sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat
(yang kemudian dikenal dengan hadis mauquf), dan sesuatu yang disandarkan
kepada tabi’in (yang kemudian dengan hadis maqtu’). Mengenai hal ini
Al-Tirmidzi menulis sebagai berikut : “adapun hadis itu tidak hanya khusus
kepada sesuatu yang marfu’ pada Nabi Muhammad saw., tetapi juga yang mauquf,
yaitu yang disandarkan kepada para sahabat, dan yang maqtu’ yang disan darkan
kepada para tabi’in”.
Senada dengan Al-Tirmidzi adalah Nur Al-Din, dimana ia
membuat rumusan hadis sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw.,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, akhlak dan apa saja yang
disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.[3][3]
B.
Definisi Sunnah
Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata
bahasa Arab سنة
(sunnah). Secara bahasa, kata
السنة
(al-sunnah) berarti السيرة حسنة كانت أو قبيحة (perjalanan hidup yang baik atau
yang buruk). Pengertian
di atas didasarkan kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim
sebagai berikut:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها و أجر من عمل بها بعده من
غير أن ينقص من أجورهم شيء. و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزر من عمل بها بعده
من غير أن ينقص من أوزارهم شيء.
Artinya:
Barangsiapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun. Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.
Para ahli Hadits (muhadditsun),
ahli ushûl (ushuliyyun), dan ahli fiqh (fuqaha') berbeda pendapat
dalam memberikan batasan makna atau pemakaian istilah hadis dan sunnah.[4][4]
Menurut ahli hadis, sunnah,
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad 'Ajjaj al-Khathib, adalah:
كل ما أثر عن النبي صلى الله عليه و سلم، من قول أو فعل أو
تقرير أو صفة خلقية أو خلقية أو سيرة سواء أ كان قبل البعثة ... أم بعدها.
Artinya: Setiap perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat fisik, akhlak, atau perjalanan hidup yang
diriwayatkan dari Nabi Saw baik sebelum menjadi rasul … atau sesudahnya.
Diantara
persoalan yang menonjol yang diangkatkan dari pengertian sunnah di atas adalah
masuknya unsur sebelum kenabian kedalam pengertian sunnah.
Didasarkan
pada sejarah kehidupan Muhammad, maka diperoleh fakta bahwa sikap dan perilaku
Muhammad sebelum diangkat menjadi Nabi/rasul sangat baik, hal ini dapat
diperhatikan dari informasi berikut:
Perjalanan hidup Nabi Saw, merupakan bagian dari perjalanan
hidupnya yang harum, seperti pertapaannya di gua hira dan perjalanan hidupnya
yang baik dan perbuatannya yang mulia sebelum kenabian. Karena sejarahnya
sebelum kenabian termasuk keimanan kepada keberadaan Nabi Saw dan
membenarkannya dalam klaim risâlah. Sayyidah Khadîjah Ra menunjukkan perjalanan
hidupnya yang baik dan perbuatannya yang mulia sebelum kenabian, bahwa Muhammad
menduga Allâh akan menghinakannya ketika dia kembali ke Khadijah dari Gua hira'
yang menggetarkan jantung setelah didatangi Malaikat. (Muhammad) berkata
kepadanya: "Aku takut pada diriku. Al-Sayyidah Khadijah berkata: "
كلا و الله ما يحزيك الله أبدا، إنك لتصل الرحم و تحمل الكل و
تكسب المعدوم و تقري الضيف و تعين على نوائب الحق.
Artinya: Tidak, Allâh tidak akan menghinakanmu selamanya.
Karena engkau menyambung shilaturrahmi, menanggung kesulitan, mencari yang
hilang, memuliakan tamu dan menolong dalam mewakili kebenaran.
Dalam riwayat al-Bukhariy dalam Kitab
al-Tafsir (تصدق الحديث) demikian pula dalam riwayat Muslim.
Ini
merupakan sejarah seorang yang dikreasikan Allâh sendiri dan mempersiapkannya
untuk mengemban risalah penutup ini, maka Nabi Saw harus memelihara Nabi Saw
sebelum risalah, dan mencegahnya dari sesuatu yang hina, sehingga
sejarahnya sebelum risalah tidak menjadi
sebab berpalingnya masyarakat darinya dan berpaling dari dakwahnya. Rasûlullâh
Saw memilih untuk mengemban risalah orang yang layak untuk mengembannya dan
yang bias melaksanakan kewajibannya sebagaimana firman Allâh SWT dalam surat
Al-Hajj ayat 75:
الله يصطفي من الملائكة رسلا و من
الناس
Dan sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
Al-An’am ayat 124:
الله أعلم حيث يجعل
رسالته
Allah SWT tidak memilih untuk
mengembannya orang yang menjadi sebab berpalingnya masyarakat dari risalahnya.
Justru itu, sejarahnya dapat dijadikan bukti pengakuan risalahnya, bahwa dia
jujur tidak berdusta selamanya, pada haris dia mendaki bukit dan menyeru
kaumnya kemudian bertanya kepada mereka: "Bagaimaa pendapat kamu sekalian,
jika aku mengatakan bahwa kuda berada di balik lembah ini ingin merubah kamu
sekalian, apakah kamu membenarkanku? Mereka menjawab: "Ya, kami belum
pernah mendengarmu berdusta". Dengan demikian Rasûlullâh Saw sudah
memberikan bukti kepada mereka dan mereka sendiri bersaksi bahwa dia jujur dan
dipercaya. Dan inilah rahasia kegusaran orang-orang kafir Makkah terhadapnya.
Jika tidak demikian, maka mereka tidak merisaukannya dan meragukannya dan
dakwahnya dari peristiwa sejarah sebelumnya.
Riwayat dari Ibn 'Abbas Ra, dia berkata:
لما نزلت: "و أنذر عشيرتك الأقربين و رهطك منهم المخلصين.
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى صعد الصفا فهتف: "يا صباحاه".
فقالوا: "من هذا؟". فاجتمعوا إليه فقال: "أ رأيتم إن أخبرتكم أن
خيلا تخرج من سفح هذا الجبل، أ كنتم مصدقي؟ قالوا ما جربنا عليك كذبا". قال:
"فإني نذير لكم بين يدي عذاب شديد". قال أبو لهب: "تبا لك ما
جمعتنا إلا لهذا". ثم قام فنزلت: "تبت يدا أبي لهب و تب". "و
قد تب" هكذا قرأها الأعمش يومئذ
Artinya:
Ketika ayat [و أنذر عشيرتك الأقربين و رهطك منهم
المخلصين] Rasûlullâh Saw
keluar dan mendaki bukit al-Shafa, kemudian dia berkata: "Wahai hari
shubuh! Mereka bertanya: "Apa ini?" maka mereka berkumpul di
sekelilingnya. Dia bertanya: "Bagaimana pendapat kamu sekalian: "Jika
aku mengkhabarkan bahwa kuda keluar dari lembah bukit ini, apakah kamu
mempercayaiku? Mereka menjawab: "Kami belum pernah mendengarmu
berdusta". Nabi Saw berkata: "Sesungguhnya aku adalah pember kabar
buruk bagi kamu sekalian dihadapan kamu sekalian ada azab yang pedih". Abû
Lahab berkata: "Celakalah kamu, kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini,
kemudian dia berdiri. Kemudian turun ayat: "Cealakalah kedua tangan Abiy Lahab,
sungguh dia celaka". Dan "Dan sungguh dia telah celaka".
Demikian al-A'masy membacanya.[5][5]
Heraklius Raja Romawi menjadikan
sifatnya, perjalanan hidupnya yang baik sebelum kenabian sebagai bukti
kebenaran kenabiannya dan kebenaran ajaran yang dibawanya. Dia mengetahuinya
dari Abu Sufyan ibn Harb pemimpin orang-orang musyrik ketika itu, dan Abu
Sufyan tidak bisa berdusta dalam ceritanya.
Didalam
riwayat Heraklius dari Abd Allah ibn Abbas, bahwa Heraklius bertanya kepada Abu
Sufyan ibn Harb dari Rasulullah Saw, diantara hal yang ditanya Heraklius kepada
Abu Sufyan:
Artinya: Apakah kamu menuduhnya berdusta sebelum dia
mengatakan apa yang dikatakannya sekarang? Aku menjawab: "Tidak". …
apakah dia …? Aku menjawab: "Tidak". Heraklius bertanya kepada Abû
Sufyan: "Aku bertanya kepadamu: "Apakah kamu menuduhnya berdusta
sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya sekarang? Kamu mengaku
"tidak". Maka aku tahu bahwa dia tidak akan mengajak manusia kepada
kebohongan dan berdusta kepada Allah". Aku bertanya: "Apakah dia
curang?" kamu mengaku: "Tidak" demikian pula para rasul, mereka
tidak akan berlaku curang.[6][6]
Disamping
itu, kita harus mengetahui bahwa Allâh berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia,
bahwa Nabi Saw telah dididik diatas standar nilai akhlak yang agung, dalam
surat Makkiyah dalam surat Alquran yang awal turun, yakni surat al-Qalam,
dimana Allâh SWT berfirman dalam surat Al-Qalam ayat 4:
و إتك لعلى خلق عظيم
Artinya: dan sesungguhnya kamu berada dalam akhlak yang
agung.
Allah menetapkannya dalam akhlak
yang baik –dalam bentuk malu, kemuliaan, kesantunan, lapang dada, berani dan
lainnya.[7][7]
Demikianlah
diantara sikap dan tingkah laku Muhammsd prakenabian.
Menurut ahli ushul, antara lain,
al-Syathibiy (ahli Ushul al-Fiqh dari Madzhab Mâlikiy) mengemukakan tiga
pengertian untuk penggunaan kata sunnah. Pertama oleh Al-Syathibiy, [t. th.]: II/IV/3,
ما جاء منقولا عن النبي صلى الله عليه و سلم على الخصوص مما لم
ينص عليه في الكتاب العزيز، بل إنما نص من جهته عليه الصلاة و السلام، كان بيانا
لما في الكتاب أو لا
Artinya: Sesuatu yang berasal dari
Nabi Saw secara khusus yang tidak ditegaskan dalam al-Kitab al-'Aziz, tetapi
ditegaskan dari Nabi Saw, sebagai penjelas (ajaran) yang terdapat dalam
al-Kitab atau bukan (penjelas).
Kedua ibid,
مقابلة البدعة
Artinya: Anonim bid'ah.
Ungkapan
فلان على سنة (si Fulan melaksanakan sunnah) dikemukakan apabila dia beramal
sesuai dengan amal Nabi Saw dan ungkapan فلان على بدعة
(si Fulan melakukan bid'ah)
dikemukakan apabila dia beramal tidak sesuai dengan amal Nabi Saw.
Yang
dipandang dalam penggunaan ini adalah amal Nabi Saw, penggunaan kata sunnah
terkait dengan aspek ini, walaupun amal tersebut merupakan tuntutan al-Kitab.
Ketiga oleh Ibid,
ما عمل عليه الصحابة، وجد ذلك في كتاب الله أو السنة أو لم يوجد
Artinya: Sesuatu yang diamalkan oleh
para shahabiy, baik yang ditemukan dalam Kitâb Allâh atau sunnah maupun tidak.
Amal shahabat dikelompokkan ke dalam
sunnah karena, antara lain, ia mengikuti sunnah yang shahih pada mereka
yang belum sampai kepada kita atau ijtihad yang mereka sepakati atau yang
disepakati oleh para Khalîfah mereka, karena ijma' mereka diakui dan amal para Khalîfah pada hakikatnya
merujuk ke ijma', dari segi menggiring masyarakat memenuhi tuntutan
kemashlahatan.
Pengertian ini didukung oleh sabda
Nabi Saw:
.....عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين
المهديين.....
Artinya: Hendaklah kamu sekalian
berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang cerdas lagi diberi
bimbingan (oleh Allah).
Apabila ketiga pengertian tersebut
di atas dihimpun maka diperoleh empat elemen sunnah: Perkataan, perbuatan, dan
persetujuan Nabi Saw semuanya itu adakalanya diterima dengan wahyu atau dengan
ijtihad (didasarkan bahwa kebenaran ijtihad merupakan haknya) dan sesuatu yang
berasal dari para shahabiy atau khalifah.
Demikianlah perngertian sunnah
menurut al-Syathibiy.
Al-Amidiy (ahli Ushul al-Fiqh dari Madzhab Syafi'iy) mengemukakan dua pengertian
untuk penggunaan kata sunnah:
Pertama oleh Al-midiy [t. th.]: I/145,
ما كان من العبادات نافلة منقولة عن النبي عليه السلام.
Artinya: Ibadah sunat yang
diriwayatkan dari Nabi Saw.
Kedua oleh Al-Amidiy, loc. cit,
ما صدر عن الرسول من الأدلة الشرعية
مما ليس بمتلو، و لا هو معجز، و لا داخل في المعجز . Artinya: Dalil-dalil syar'iyah yang
bersumber dari Nabi Saw yang tidak dibacakan (oleh Allâh melalui Jibril), bukan
mukjizat dan tidak termasuk kelompok mukjizat.[8][8]
Yang
dimaksud dengan sunnah menurut ahli ushul al-fiqh untuk pengertian
pertama adalah pengertian yang pertamanya sedangkan untuk pengertian kedua
adalah adalah pengertian yang keduanya.
Dari
kedua pengertian tersebut ditemukan persamaan: keduanya sama-sama mengemukakan
bahwa ajaran yang terdapat dalam sunnah tidak terdapat nashnya dan atau penjelasannya
dalam Alquran dan keduanya sama-sama menyatakan bahwa sesuatu disebut sunnah
hanyalah sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang dapat dijadikan dalil hukum
syar'iy.6
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib (Ahli Hadits di Universitas Damaskus)
menyimpulkan pengertian sunnah menurut ahli Ushul al-Fiqh, dimana definisi yang
dikemukakannya mencakup kedua pengertian di atas oleh Ajjaj al-Khathib, 1989: 19 sebagai berikut:
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه و سلم، غير القرآن الكريم،
من قول أو فعل أو تقرير، مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعي.
Artinya: Setiap perkataan,
perbuatan, dan persetujuan selain Alquran yang bersumber dari Nabi Saw yang pantas dijadikan dalil
hukum syar'iy.
Menurut ahli Fiqh, sunnah
sebagaimana dikemukakan oleh Al-Amidiy [t. th.]): I/145 adalah:
ما كان من العبادات نافلة منقولة عن النبي عليه السلام
Artinya: Ibadah sunat yang
diriwayatkan dari Nabi Saw.
Muhammad 'Ajjaj al-Khathib menyimpulkan bahwa
istilah sunnah mereka pakai untuk menunjukkan salah satu bentuk atau sifat
hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad 'Ajjâj al-Khathîb, adalah:
كل ما ثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم و لم يكن من باب الفرض
و لا الواجب
Perbedaan pendapat di kalangan ahli
di atas dilatarbelakangi oleh perbedaan spesialisasi dan objek kajian mereka,
sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka tekuni.
Objek kajian
ahli hadits adalah diri Nabi Saw dari segala aspeknya –sebagai imam yang
membimbing, mengarahkan, dan member
nasehat—dimana
Allah mengkhabarkan bahwa dia merupakan contoh yang baik dan ikutan bagi orang
Islam. Maka mereka meliput segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw,
baik yang bermuatan hukum dan tidak.
Objek kajian
ahli ushul adalah Nabi Saw sebagai pembuat syari'at yang menjelaskan kepada
manusia aturan kehidupan, membuat kaidah-kaidah buat para mujtahid sesudahnya,
maka mereka meliput segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw yang bermuatan
dalil hukum.
Sementara objek
kajian ahli fiqh adalah perbuatan Nabi Saw yang bermuatan hukum syar'iy “ wujub, nadab, karahah, haram, ibahah” maka mereka
meliput perbuatan Nabi Saw yang bermuatan hukum tersebut.[10][10]
Anonim kata سنة adalah kata بدعة (bid'ah). Kata bid'ah adalah
kosa kata bahasa Arab. Ia adalah mashdar dari kata بدع – يبدع. Kata بدعة berarti الأمر المستحدث (persoalan yang baru). Asal makna
kata ini adalah membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Pengertian ini
didasarkan pada ayat 9 surat al-Ahqaf.
ما كنت بدعا من الرسل.
Maksudnya, aku
bukanlah orang yang pertama membawa risalah dari Allah kepada manusia, tetapi
sudah terdapat para rasul sebelumku.
Secara istilah,
para ahli berbeda pendapat dalam memberikan pengertian bid'ah.
Al-Syathibiy
mengemukakan dua pengertian bid'ah.
pertama:
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية
يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه.
Kedua,
Oleh Al-Syathibiy, al-I'tisham,
I/37:
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الطريقة الشرعية يقصد بالسلوك
عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية. Menurut Ibn Taymiyah XVIII/346, bid'ah
adalah:
ما خالفت الكتاب
و السنة و إجماع سلف الأمة من الإعتقادات و العبادات
'Ajjaj al-Khathib, Ushul
al-Hadits, op. cit.: 23.
(
ما أحدثه الناس من قول أو عمل في الدين و
شعائره مما لم يؤثر عن الرسول صلى الله عليه و سلم و عن أصحابه
Artinya:
Perkataan dan perbuatan dalam agama dan syi'arnya yang diadakanmanusia yang
tidak bersumber daru Rasul Saw dan shahabatnya.
Pengertian
bid'ah yang pertama yang dikemukakan oleh al-Syathibiy adalah pengertian yang
dikemukakan oleh ahli yang tidak memasukkan adat dalam makna bid'ah dan hanya
mengkhususkannya untuk ibadah. Pengertian bid'ah yang kedua adalah pengertian
yang dikemukakan oleh ahli yang memasukkan adat dalam makna bid'ah. Berdasarkan
hal ini, bid'ah dibatasi pada sesuatu yang keluar dari gambaran Syari'. Setiap
yang baru yang berhubungan dengan agama, seperti ilmu-ilmu yang membantu
memahami syari'ah, tidak termasuk bid'ah.
Pembatasan
pengertian bid'ah dengan keyakinan, perkataan, perbuatan yang diadakan manusia
dalam agama, baik dengan melakukan atau tidak melakukannya, dalam pengertian
keempat, dimaksudkan agar tidak masuk di dalamnya perbuatan yang diadakan
manusia sebagai tuntutan kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan dengan prinsip
syari'ah yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw.[11][11]
Sebagian ahli,
misalnya al-'Izz ibn 'Abd al-Salam, mempergunakan kata bid'ah untuk
sesuatu yang diadakan manusia dalam selain agama, baik dengan melakukan atau
tidak melakukannya sebagai tuntutan kemaslahatan dan perbuatan yang sejalan
dengan prinsip syari'ah yang tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw. Maka dia
membagi bid'ah menjadi wajibah, muharrimah, mandubah, makruhah, dan mubahah.
Menurut
al-'Izz, diantara contoh bid'ah wajibah adalah menekuni ilmu nahu yang
dipegunakan untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya Saw, menghafal kata-kata
gharib dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, dan kodifikasi ushul al-fiqh dan
lainnya. (Abd al-Salam, …:
173.). Bid'ah
yang dipandangnya wajib termasuk bagian mashlahat. Diantara contoh bid'ah muharramah
adalah bid'ah yang dilakukan oleh aliran Qadariyah dan Mujassimah. Diantara
contoh bid'ah yang makruhah adalah membaca Alquran dengan lahn dimana lafazh Alquran berubah
dari peruntukan kata dalam bahasa Arab.
Diantara contoh
bid'ah dalam keyakinan adalah antropomorpisme; dalam perbuatan adalah bernadzar
puasa dibawah terik matahari, dan; dalam perkataan adalah zikir dengan suara
yang sama dengan berjama'ah. Diantara bid'ah yang terjadi dengan meninggalkan
yang mubah tanpa udzur syar'iy dan sangat berlebihan dalam ibadah adalah
mengharamkan tidur, tidak menikah, tidak berbuka puasa dan senantiasa berpuasa.
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:
...
من رغب عن سنتي فليس مني.
Dalam hal ini,
al-Syathibiy berpendapat: "Setiap orang yang mengharamkan dirinya untuk
memperoleh sesuatu yang dihalalkan Allah tanpa uzur syar'iy maka ia keluar dari
sunnah Nabi Saw, dan orang yang beramal tanpa didasarkan sunnah dan menganggap
dirinya mengamalkan agama maka pelakunya disebut mubtadi'.
(Al-Syathibiy, al-I'tisham. I/44).[12][12]
C.
Definisi Khabar
Kata الخبر (al-Khabar)
adalah salah satu kosa kata bahasa Arab. Jamaknya adalah الأخبار (al-akhbar).
Secara bahasa kata al-khabar berarti النبأ (al-naba';
berita yang besar) (Ibn Manzhur, op. cit., II/109).
Khabar menurut bahasa adalah “warta
berita yang disampaikan seseorang kepada orang lain”. Jama’nya : akhbar, muradifnya :
naba’ yang jama’nya anba, orang yang banyak khabar dinamai “khabir”.[13][13]
Khabar menurut istilah ahli hadis adalah “warta baik dari
Nabi Muhammad SAW maupun dari sahabat ataupun tabiin” menurut ini hadits dapat
dinamai hadits marfu’, hadits mauquf dan hadits maqthu.
Dalam hal ini orang yang meriwayatkan hadits dinamai
“Muhadisin” dan orang yang meriwayatkan sejarah dinamai akhbari atau khabari.[14][14]
Ulama’ lain mengatakan bahwa al-khabar adalah sesuatu yang datang selain dari nabi
Muhammad SAW, sedang yang datang dari nabi Muhammad SAW dsebut hadis. Ada juga
yang mengatakan hadis lebih umum dan lebih luas dari pada khabar, sehingga
tiaphadis dapat dikatakan khabar tetapi tidak setiap khabar dikatakan hadis.
Para ulam’ umum pun berpendapat bahwa hadis dan khabar
mempunyai pengertian yang sama, yaitu berita baik yang datang dari nabi
Muhammad SAW, sahabat, maupun para tabi’in. hadis yang periwayatnya sampai pada
nabi disebut hadis marfu’, yang sampai pada sahabat disebut hadis mauquf,
dan yang sampai pada tabi’in disebut hadis maqtu’. Semua ini disebut
khabar.Namun ada pula yang berpendapat bahwa khabar lebih umum dari pada hadis,
yakni mencangkup segala yang diberitakan baik dari nabi, sahabat, dan para
tabi’in, sedangkan hadis khusus yang diberitakan dari nabi saja.Seperti halnya
ada yang berpendapat bahwa atsar lebih umum dari pada khabar.Atsar meliputi
segala yang datang dari nabi dan selainnya, sedangkan khabar yang datng dari
nabi saja. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa khabar, atsar dan hadis
itu tidak ada perbedaan semuanya mempunyai pengertian yang sama.[15][15]
Adapula yang mengatakan khabar itu lebih umum dari pada
Hadits, karena masuk dalam perkataan khabar segala yang diriwayatkan baik dari
nabi maupun dari selainnya, sedangkan Hadits khusus yang diriwayatkan dari Nabi
SAW.
Ada pula yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlakan
kepada yang sampai pada Nabi SAW saja, sedangkan yang diterima dari sahabat
dinamakan atsar.
Sementara ahli lain berpendapat, bahwa al-khabar
adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pendapat ini, antara lain,
dikemukakan oleh ahli fiqh Khurasan. Pendapatnya, al-khabar adalah:
ما يروى عن الرسول صلى الله عليه و
سلم.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul Saw.
D.
Definisi Atsar
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار
(atsar). Secara bahasa
kata الأثر berarti: بقية
الشيء (bekas sesuatu) (Ibn
Manzhur, op. cit.: …: …).
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsar. Menurut
al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy,
menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat
ini, menurut al-Nawawiy dipilih oleh para ahli Hadits dan selain mereka dan
juga diperpegangi oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abu Ja'far al-Thahawiy menamakan kitabnya dengan شرح
معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfu', mawquf, dan maqthu'.
Pengertian ini sejalan dengan makna bahasa, karena kata al-atsar
terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti
رويته (saya
meriwayatkannya).[16][16]
Menurut
ahli fiqh Khurasan,
antara lain Abu
al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip oleh
al-Khasyu'iy
al-Khasyu'iy
Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shabatibiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar adalah sesuatu yang diriwayatkan dari selain
Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadits mawquf dan maqthu'
dan tidak dipergunakan untuk Hadîts marfu'.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfû' dan selainnya.
Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan, pertama (السنن) dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak
sama dengan yang kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang kedua adalah Hadits mawquf dan maqthu'.
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsar. Menurut al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy, menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat ini, menurut al-Nawawiy
dipilih oleh para ahli Hadîts dan selain mereka dan juga diperpegangi
oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abu Ja'far al-Thahawiy menamakan kitabnya
dengan شرح معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu', mawquf, dan maqthu'.
Pengertian ini sejalan dengan makna bahasa, karena kata al-atsar
terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti
رويته (saya
meriwayatkannya).
Menurut
ahli fiqh Khurasan, antara lain Abu al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip
oleh al-Khasyu'iy al-Khasyu'iy Mahammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar
adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari selain Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadits mawquf dan maqthu'
dan tidak dipergunakan untuk Hadits
marfu'.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu' dan selainnya. Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan, pertama
(السنن)
dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak sama dengan yang
kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang kedua adalah Hadits mawquf dan maqthu'.
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار
(âtsâr). Secara bahasa
kata الأثر berarti: بقية
الشيء (bekas sesuatu) (Ibn
Manzhûr, op. cit.: …: …).
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsâr. Menurut
al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy,
menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat ini, menurut al-Nawawiy
dipilih oleh para ahli Hadits dan
selain mereka dan juga diperpegangi oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abu Ja'far al-Thahawiy menamakan kitabnya dengan شرح
معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu', mawquf, dan maqthu'.
Pengertian ini sejalan dengan makna bahasa, karena kata al-atsar
terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti
رويته (saya
meriwayatkannya).
Menurut
ahli fiqh Khurasan,
antara lain Abu
al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip oleh
al-Khasyu'iy
al-Khasyu'iy
Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar adalah sesuatu yang diriwayatkan dari selain
Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadits mawquf dan maqthu'
dan tidak dipergunakan untuk Hadits marfu'.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu' dan selainnya. Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan,
pertama (السنن) dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak
sama dengan yang kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang kedua adalah Hadits mawquf dan maqthu'.
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار
(atsar). Secara
bahasa kata الأثر berarti: بقية الشيء (bekas
sesuatu) (Ibn Manzhur, op. cit.: …: …).
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsâr. Menurut
al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy,
menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat
ini, menurut al-Nawawiy dipilih oleh para ahli Hadîts dan selain mereka
dan juga diperpegangi oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abu Ja'far al-Thahawiy menamakan kitabnya dengan شرح
معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu', mawquf, dan maqthi'.
Pengertian ini sejalan dengan makna bahasa, karena kata al-atsar
terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti
رويته (saya
meriwayatkannya).
Menurut
ahli fiqh Khurasan,
antara lain Abu
al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip oleh
al-Khasyu'iy
al-Khasyu'iy
Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar adalah sesuatu yang diriwayatkan dari selain
Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadits mawquf dan maqthu'
dan tidak dipergunakan untuk Hadits marfu'.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfu' dan selainnya. Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan,
pertama (السنن) dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak
sama dengan yang kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang kedua adalah Hadîts mawquf dan maqthu'.
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار
(atsar). Secara bahasa kata الأثر berarti: بقية الشيء (bekas sesuatu) (Ibn Manzhûr, op. cit.:
…: …).
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsâr. Menurut
al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy, menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat
ini, menurut al-Nawawiy dipilih oleh para ahli Hadîts dan selain mereka
dan juga diperpegangi oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abu Ja'far al-Thahawiy menamakan kitabnya
dengan شرح معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadits
marfu’, mawquf, dan maqthu'. Pengertian ini sejalan dengan makna
bahasa, karena kata al-atsar terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti رويته (saya meriwayatkannya).
Menurut
ahli fiqh Khurasan, antara lain Abu al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip
oleh al-Khasyu'iy al-Khasyû'iy Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar
adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari selain Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadîts mawqûf dan
maqthû' dan tidak dipergunakan untuk Hadits marfu’.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadîts marfu' dan selainnya.
Perbedaan tingkatan dalam pengungkapan, pertama (السنن) dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak
sama dengan yang kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang
kedua adalah Hadits mawquf dan maqthu'.
Kata al-Atsar (الأثر)
adalah salah satu kata bahasa Arab. Jamaknya adalah آثار
(atsr). Secara bahasa
kata الأثر berarti: بقية
الشيء (bekas sesuatu) (Ibn
Manzhur, op. cit.: …: …).
Para
ahli berbeda pendapat dalam memberikan batasan makna al-atsar. Menurut
al-Nawawiy, al-atsar adalah:
المروي مطلقا سواء كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو عن
الصحابي.
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
secara muthlaq baik yang berasal dari Rasûlullah Saw atau dari shahabiy.
Pendapat yang mirip dikemukakan oleh
al-Sakhawiy, menurutnya al-atsar adalah:
الأحاديث مرفوعة كانت أو موقوفة على المعتمد
Pendapat
ini, menurut al-Nawawiy dipilih oleh para ahli Hadits dan selain mereka dan
juga diperpegangi oleh ulama salaf dan mayoritas khalaf.
Diantara
argument penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
Nabi Saw dan selainnya antara lain, Abû Ja'far al-Thahâwiy menamakan
kitabnya dengan شرح معاني الآثار. Kitab ini memuat Hadits
marfu', mawquf, dan maqthu'. Pengertian ini sejalan dengan makna
bahasa, karena kata al-atsar terambil dari ungkapan أثرت الحديث yang berarti رويته (saya meriwayatkannya).
Menurut
ahli fiqh Khurasan, antara lain Abu al-Qasim al-Fawraniy, sebagaimana dikutip
oleh al-Khasyu'iy al-Khasyu'iy Muhammad al-Khasyu'iy, al-atsar adalah:
ما يروى عن الصحابي
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari shahabiy.
Jadi menurut ahli fiqh Khurasan, al-atsar
adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari selain Nabi Saw.
Berdasarkan
hal ini, maka kata al-atsar dipergunakan untuk Hadits mawquf dan maqthu'
dan tidak dipergunakan untuk Hadits marfu'.
Diantara
argumen penggunaan kata al-atsar untuk sesuatu yang diriwayatkan dari
selain Nabi Saw, antara lain, al-Bayhaqiy menamakan kitabnya dengan معرفة السنن و الآثار. Kitab ini memuat Hadits marfu' dan selainnya. Perbedaan
tingkatan dalam pengungkapan, pertama (السنن) dan kedua (الأثار) mengindikasikan bahwa yang pertama tidak
sama dengan yang kedua, yang pertama adalah Hadits marfu' sedangkan yang
kedua adalah Hadits mawquf dan maqthu'.[17][17]
2.
Sebab perbedaan Hadits, Sunnah,
Khabar dan Atsar
Adapun sebab-sebab
terjadinya perbedaan antara ulama’ ahli hadis, ahli ushul, dan ahli fiqih dalam
dalam member definisi tersebut karena perbedaan mereka dalam memberi tekanan
mengenai tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu itu.
Para ahli hadis hadis memandang rosulullah SAW sebagai pemimpin yang member petunjuk,
yang disebutkan Allah “teladan dan contoh bagi kita” (laqad kana lakum fi
rasulillah uswatun hasanah). Atas dasar ini, mereka menurunkan apa saja
yang berkaitan dengan nabi seperti bio grafi, budi pekerti, perangai,
berita-berita, sabda-sabda, dan tindakan-tindakan, baik yang menghasilkan
penetapanhukum ataupun yang tidak. Sedangkan para ahli ushul melihat
rosulullahsebagai penetap syariat (al-syari) yang meletakkan dasar-dasar hokum
untuk para mujtahid sesudah beliau menjelaskan kaidah-kaidah hidup untuk
manusia.Karena itu mereka memperhatikan sabda, perbuatan, dan taqrir nabi yang berkaitan dengan penetapan hokum dan
pengukuhannya. Selanjutnya para ahli fiqih membahas tentang nabi dari
segi bahwa keseluruhan tindakan beliau tidak keluar dari fungsinya sebagai
petunjuk untuk hokum syara’. Mereka membahas hokum syara’ pada
perbuatan manusia dari segi hukum wajib, haram, mubah dan seterusnya.
Pengertian
dan Struktur Hadits
Pengertian
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad.
Menurut
istilah ulama ahli hadits, hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat
jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah)
dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan
sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan
makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti
segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri
adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Struktur Hadits
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh: Musaddad mengabari bahwa
Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari
Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di
antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk
dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)
Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad
terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut
dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan
gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad
hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya
> Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki
beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya,
lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan
penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal
ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits.
Jadi yang perlu dicermati dalam
memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah :
- Keutuhan sanadnya
- Jumlahnya
- Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah
dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip
berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan
sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.
Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka
matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi,
maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadits ialah: Ujung sanad sebagai
sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan, Matan hadits itu
sendiri dalam hubungannya dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah
ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran
(apakah ada yang bertolak belakang).
BAB III
KESIMPULAN
Dengan melihat
pembahasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa disana terdapat
definisi yang berbeda dikalangan para ulama’ dan para ahli tentang hadis, sunnah, khobar, dan atsar. Dikarenakan
mereka mempunyai konsentrasi keilmuan yang berbeda, dengan pemikiran pada
periode masing-masing ulama’ dan para ahli. Misalnya perbedaan mereka dalam memberi
tekanan mengenai tujuan yang dikehendaki oleh masing-masing kelompok ahli ilmu
itu. Para ahli hadis memandang
rosulullah SAW sebagai pemimpin yang memberi petunjuk, yang disebutkan Allah
“teladan dan contoh bagi kita” (laqad kana lakum fi rasulillah uswatun
hasanah). Atas dasar ini, mereka menurunkan apa saja yang berkaitan dengan
nabi seperti bio grafi, budi pekerti, perangai, berita-berita, sabda-sabda, dan
tindakan-tindakan, baik yang menghasilkan penetapanhukum ataupun yang tidak.
Sedangkan para ahli ushul melihat rosulullahsebagai penetap syariat (al-syari)
yang meletakkan dasar-dasar hokum untuk para mujtahid sesudah beliau
menjelaskan kaidah-kaidah hidup untuk manusia.Karena itu mereka memperhatikan
sabda, perbuatan, dan taqrir nabi yang berkaitan dengan penetapan hokum dan pengukuhannya. Selanjutnya
para ahli fiqih membahas tentang nabi dari segi bahwa keseluruhan tindakan
beliau tidak keluar dari fungsinya sebagai petunjuk untuk hokum syara’. Mereka membahas hokum syara’ pada
perbuatan manusia dari segi hukum wajib, haram, mubah dan seterusnya. Begitu juga
dengan perbedaan pendapat mereka tentang sunnah, khobar dan atsar.
DAFTAR PUSTAKA
· Ahmad, H.
Muhammad –M. Muzakir, ULUMUL HADIS.
Bandung; PUSTAKA SETIA, 2000
· Nata, Abudin, AL-QUR’AN DAN HADITS. Jakarta ; PT
RajaGrafindo Persada, 2000
· Suparta,
Muzair. ILMU HADIS. 2006. Jakarta ;
PT RajaGrafindo Persada, 2006
· Ranu wijaya,
Utang. ILMU HADIS. Jakarta; GAYA
MEDIA PRATAMA, 2001
· B. Sameer,
Zeid, ULUMUL HADIS. Malang;
UIN-Malang press, 2008
· Nor Ichwan,
Mohammad, STUDI ILMU HADIS. Semarang;
RaSAIL Media Group, 2007
· Usman, Achmad, HADITS TARBIYAH. Pasuruan; PT. Garuda
Buana Inah, 1993